File yang terdahulu

Senin, 13 Oktober 2008

Syawal, Ayo tingkatkan ibadah !!!


Ramadhan baru saja berlalu. Training ibadah dan amalan-amalan sunnah tentu masih membekas dijiwa kita. Harapan untuk menjadi takwa sebagaimana Al Qur’an beramanat harusnya mulai terlihat realisasinya setelah Ramadhan ini. Setidaknya dari segi kuantitas, tidak ada penurunan dramatis yang terlihat dari rapor amalan yaumiah kita. Ini juga bisa jadi parameter apakah kita lulus training Ramadhan atau tidak.

Yang paling penting bagi kita, untuk menjaga stabilitas ibadah adalah memelihara komitmen terhadap aktifitas-aktifitas ibadah tersebut. Komitmen ini perlu dijaga karena setelah Ramadhan, Syawal dan seterusnya tantangan untuk menjaga dan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah jauh lebih sulit. Tilawah Qur’an bisa tinggal separuhnya dibanding Ramadhan. Begitupula QL (Qiyamul Lail) , SS (Shaum Sunnah) dan Infak serta yang lainnya.

Syaikh Nashih Ulwan dalam “Tarbiyah Ruhiyah”, membuat beberapa rambu-rambu agar komitmen ibadah kita terus terpelihara, diantaranya :

1. Mu’ahadah (Mengingat janji kepada Allah)
Semenjak berada dalam kandungan kita sudah melakukan deal dengan Allah. Percakapan tentang kesaksian embrio manusia dengan tuhannya yaitu Allah SWT di abadikan di Surat Al A’raf :172 . Konsekuensi perjanjian ini, manusia wajib hidup dalam rel yang sudah digariskan Allah, mengikutu perintah dan tidak melanggarnya. Dengan senantiasa mengingat janji ini manusia tidak lagi mempunyai tempat untuk menggantungkan hidupnya selain kepada Allah serta meminta petunjuk untuk terhindar dari jalan orang-orang dzalim (Yahidi) dan orang-orang yang tersesat (Nasrani)

2. Mujahadah (Bersugguh-sungguh)
Kesungguhan adalah faktor yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah. Orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadah tidak akan pernah menyia-nyiakan tiap detik waktu dalam hidupnya. Allah menyindir dalam Surat Al Asyr bahwa “seluruh manusia merugi”. Tetapi sebagian ada yang beruntung, yakni mereka yang cerdas, yaitu senantiasa beriman dan beramal shaleh dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Orang yang bersungguh sungguh dalam ibadah, memiliki keinginan yang kuat untuk istiqomah serta meningkatkan kualitas ibadah. Memiliki semangat membara untuk tetap menjaga stabilitas iman dan terus menambah wawasan keagamaan, tidak berleha-leha, santai dan menunggu.

3. Muraqabah (Merasa dalam pengawasan Allah)
Syahdan dalam dalam sebuah inspeksi dimalam hari, Khalifah Umar mendengar percakapan seorang gadis penjual susu kambing dengan ibunya disebuah kampung. Sang ibu meminta anaknya untuk mencampur susu dengan air agar bertambah keuntungan mereka. Sang gadis menolak dengan landasan iman. Ia berkata, “Umar memang tidak ada disini dan tidak melihat perbuatan kita. Tapi tuhannya Umar pasti mencatat apa yang kita lakukan.”

Demikianlah bila iman meliputi jiwa yang bersih. Maka lahirlah kejujuran yang menjaga izzah seorang gadis penjual susu. Umarpun terpesona, iapun menikahkan gadis tersebut dengan anaknya. Beberapa puluh tahun kemudian dari sejarah menoreh tinta emas dengan lahirnya seorang Umar bin Abdul Azis dari keturuna gadis tersebut.

Penggalan kisah tadi adalah potret iman seorang manusia yang hatinya senantiasa diliputi oleh jiwa muraqabatullah. Selalu merasa diawasi oleh Allah SWT dimanapun berada, kapanpun waktunya.

4. Muaqobah (Menghukumi kelalaian sendiri)
Pada dasarnya manusia selalu ingin bebas dan menuruti nafsunya. Karenanya perlu ada mekanisme hukuman atau iqab untuk membentuk sikap disiplin khususnya dalam beribadah. Untuk menjadi disiplin dan terikat dengan komitmen ibadah, perlu ada hukuman yang membuat efek takut dan jera meninggalkannya. Dengan hukuman ini, seseorang akan berfikir ulang untuk melanggar serta merasa berat menerima hukuman itu. Teladan yang patut kita renungkan dari seorang Umar Ibnu Khattab rela menginfakkan sebidang kebun kurma yang tengah berbuah gara-gara ia ketinggalan shalat Ashar berjamaah. Mungkin kita tidak selevel Umar dalam mengiqab diri, tapi kita bisa mulai mengganti kelalaian kita dengan kehilangan seribu atau dua ribu uang sebagai hukuman untuk ibadah-ibadah andalan kita. Misalnya shalat jamaah, tilawah, shaum dan lain sebagainya.

5. Muhasabah (Menghitung amalan diri)
Muhasabah, menghitung amalan diri, baik itu yang buruk maupun yang baik sangat bermanfaat untuk mengingatkan kita agar senantiasa ingat akan hari esok yang kekal abadi yakni kehidupan akhirat. Dengan muhasabah inilah kita akan mengetahui dimana posisi yang layak bagi kita di akhirat kelak. Apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung menjadi ahli syurga karena timbangan pahala kita lebih berat. Ataukah sebaliknya kita menjadi penghuni neraka karena kita gagal memanfaatkan hidup didunia.

Rajin menghisab diri akan menimbulkan efek sikap hati-hati dalam hidup dan selalu berhitung dalam berkata dan bersikap. Tidak reaksioner, tergesa-gesa dalam menentukan pilihan. Pertimbangan baik dan buruk akan dipilah sebelum kita melakukan suatu perbuatan. Demikian kita membuat pagar yang rapat agar komitmen ibadah setelah Ramadhan ini bisa tumbuh subur terpelihara.

Disarikan dari ceramah Ust. Hizbullah Undu, 18 Nopember 2005

2 komentar: